Globalisasi dan Budaya
Perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi telah mengubah dunia. Dulu tak ada orang membayangkan, dunia yang begitu luas akan menjadidesa global ( global village).
Tahun 1964 ketika Marshall Mc Luhanmengemukakan teori determinisme teknologi dalam buku Understanding Media, banyak orang yang sulit mengerti, dan tidak bisa membayangkan konsepsi global village.
Pemikiran Mc Luhan saat itu dinilai kontroversi, dan membingungkan.Tapi sekarang, globalisasi memang benar -benar menjadi kenyataan. Penduduk dunia saling berhubungan semakin erat hampir di semua as pek kehidupan. Dari bertukar informasi, budaya, perdagangan, investasi, pariwisata, hingga persoalan pribadi, ataupun aspek kehidupan lain.Semakin nyata perkembangan teknologi komunikasi secara signifikanmemang berimbas ke berbagai sektor. Media massa global seperti CNN, MTV,CNBC, HBO, BBC, ESPN, dan lain -lain, telah menjangkau dan menembusyuridiksi berbagai negara.
Internet yang memungkinkan adanyakomunitas virtual yang berkomunikasi secara intensif di dunia maya, antara orang banyak dengan orang banyak yang pesertanya berasal dari berbagai belahandunia tanpa batas (McQuail, 2002 hal: 113). Menurut catat an Nua.com, pertumbuhan pengguna internet ( growth of internet users) sampai tahun 2001, jumlahnya sudah mencapai 500 juta orang (Lister et all, 2003:204). Padahaltahun 1998 baru sekitar 120 jutaan. Artinya ada peningkatan yang sangatsignifikan.
Kondisi semacam ini tentu saja memunculkan kekhawatiran, bahkan krisiskebudayaan di berbagai negara. Budaya lokal, baik yang berupa seni maupun budaya pop lokal banyak yang terancam tersisihkan. Atau terkontaminasi dari budaya global dari Amerika.
Alhasil ada ketegangan-ketegangan karenaterjadinya benturan antara budaya global yang dianggap modern, dengan budayalokal yang mewakili semangat nasionalisme atau bahk an kedaerahan, tapi jugayang berkesan tradisional.Kekhawatiran atau penolakan globalisasi yang juga sering disebut denganAmerikanisasi ini muncul tidak hanya di negara berkembang ataupun negaradunia ketiga. Di negara maju Eropa seperti di Perancis, Je rman, Itali bahkanInggrispun tak henti-hentinya muncul kritikan dan ketidaksukaan pada globalisasiyang mereka nilai sebagai Amerikanisasi itu. Sebagaimana dikemukakan olehSimon Frith (2000), profesor dari University of Stirling, Scotlandia Inggris, yan gmengatakan :
“At the end of nineteenth century, there has been a recurrent fear of ‘Americanization’, whether articulated in defence of existing European culture or as and attack from the third world againt ‘cultural imperialism’, and it is easyenough to envisage to media future in which MTV is on every screen, a Hollywood film in every movie theatre. Disneyland in every continent. MeriahCarey on every radio station, and Penthouse and Cosmopolitan in every